Lu Tipe Melupakan atau Mengikhlaskan?

Entah kenapa, gue baru sadar kalau nggak enak banget mulai nulis kalau baru selesai mandi, kayak air itu bukan cuma menghilangkan gerah tapi juga kreatifitas gue. Tapi, karena gue harus membuat tulisan di hari sabtu untuk blog ini, makanya sekarang gue memaksakan diri untuk menulis.

Oke, kita mulai.

Beberapa hari ke belakang, gue cukup sibuk dengan rutinitas yang seperti, bangun-menulis-makan-tidur. Melelahkan? Sekali. Membosankan? Nggak sama sekali. Justru ini impian yang gue idam-idamkan selama ini, bangun pagi yang gue pikirkan cuma melanjutkan tulisan yang terhenti semalam karena mengantuk atau terpaksa terhenti sejenak saat siang karena ada kesibukan lainnya yang nggak kalah penting.

Enggak ada pekerjaan sekolah yang harus gue selesaikan, nggak ada matematika yang buat gue harus memutar otak untuk menjawab soal, dan lain-lain. Seminggu ini yang ada hanya, bagaimana  gue melanjutkan tulisan gue hari ini dengan target beberapa halaman word dan mengeditnya sedemikian rupa kalau sudah selesai menulis.

Maka, pada tulisan kali ini gue mau membahas tentang beberapa cerita novel yang menurut gue sedikit mencuri perhatian gue. Seperti, 'Daun yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Angin,' dan, 'Hujan'. Pada kedua novel ini mempunyai permasalahan tentang cinta, tentang perpisahan dan juga tentang merelakan, dan akhirnya melupakan. Pada kedua novel ini juga memiliki ending yang berbeda, tetapi mempunyai keunikan sendiri-sendiri, cuma yang paling inti itu kedua novel yang bercerita tentang 'mengikhlaskan' atau 'melupakan' ini memberi gue ide untuk menulis blog, jadi gue suka banget. Memang sudah banyak yang membahas tentang ikhlas, ada juga yang sudah membahas secara detail tentang melupakan.


'Mengikhlaskan atau Melupakan?'

Dua buah kata yang memiliki hubungan sangat kuat tetapi memiliki makna yang sangat berbeda kalo kata Fiersa Besari dalam bukunya 'Catatan Juang'. Kedua kata ini juga sering dipakai saat situasi ketika ada yang patah hati, seperti anak remaja yang berkata pada temannya yang bersedih ketika ditinggal kekasihnya, 'Lupakan saja dia yang tidak punya hati itu,' atau, 'Sudahlah, ikhlaskan saja dia, ada banyak laki-laki yang lebih pantas untukmu'. Meskipun orang yang memberikan saran ini malah nggak bisa bangkit juga kalau lagi patah hati, tapi setidaknya sudah memberikan dukungan moril pada temannya.

Pada dasarnya manusia itu kalau patah hati, biasanya juga ikut buta hati. Maksudnya adalah mereka pandai membuat alasan untuk melupakan patah hati mereka, tapi buta cara untuk memulihkan patah hati pada waktu dekat.

Duh, belibet. Sederhananya begini, 'Seperti seorang yang sangat hebat dalam berbicara atau membuat alasan, tetapi tidak bisa dalam urusan praktek'.

Orang-orang yang patah hati berlomba-lomba untuk mengikhlaskan sekaligus untuk melupakan seseorang yang membuat hati mereka patah, mereka mencoba mengubur dalam-dalam perasaan mereka, padahal mereka tahu kalau itu sebenarnya cuma usaha yang tidak punya reaksi apa-apa kecuali lebih membangkitkan kenangan lagi.


Orang-orang yang patah hati tidak mengetahui kalau ' melupakan atau mengikhlaskan' tidak bisa dilakukan secara bersamaan karena memang dari sananya memiliki makna yang sudah jauh berbeda.

Perbedaannya apa?

Perbedaannya, melupakan itu adalah kata yang mengartikan kita lupa terhadap sesuatu secara tidak sadar. Enggak mungkin ada orang yang sadar apa yang telah dilupakan. Mereka yang patah hati tidak sadar kalau mereka lupa beberapa saat mereka lagi patah hati, kemudian setelah tiba-tiba mengingat secara sadar atau secara utuh, mereka yang patah hati kembali sibuk untuk kembali melupakan dan terus-terusan terjebak pada situasi yang tidak bisa dihindari dari apa yang telah berlalu. Sadar atau nggak, orang-orang itu sangat susah melupakan, memerlukan banyak waktu. Percayalah untuk orang yang belum move dari kekasih yang sebelumnya, coba mikir seperti ini, 'Kalo mau melupakan, memangnya lu saat dapat yang baru atau sekarang ini, lu udah melupakan perlakuan mantan lu yang lebih lama?'

Orang-orang yang patah hati kemudian bangkit kembali adalah mereka yang mengikhlaskan, bukan melupakan. Mengikhlaskan itu seperti apa?

Mengikhlaskan itu artinya membiarkan dia dalam pikiran kita secara sadar untuk sekedar memberikan kita semangat membenahi diri menjadi lebih baik dengan mengambil pelajaran dari apa yang telah kita perbuat dari masa lalu.

Simple.

Makanya kenapa banyak orang bilang, 'Everything Happen for a Reason,' karena pada dasarnya orang yang pernah dekat dengan kita hanya sebagai pembelajaran, atau sebagai teman hidup yang sebenarnya.


Lebih sederhana lagi, orang yang benar-benar berusaha melupakan hingga beberapa tahun memang akan sedikit sembuh juga, tetapi orang yang bisa mengikhlaskan saat itu juga akan tau kalo ia bisa bangkit lagi, dan yakin waktu adalah media untuk dirinya menggunakan memorinya bukan untuk melupakan, tetapi menggunakannya sebagai pembenahan diri.


Seseorang yang menetap di angkasa, tetapi memaksa turun kebumi dengan sebuah roket yang luar biasa. Salam, Andika Machmud.