Seperti Pecundang

Selamat datang kembali, Dika!

Gue udah lama nggak menulis karena banyak kegiatan yang datang dan pergi, sehingga tak ada lagi waktu yang tersisa untuk menulis di blog. Boleh-boleh saja, gue tetep nulis pada saat itu, tapi kegiatan yang gue ikut adalah salah satu tanggung jawab yang tidak bisa ditinggal karena telah dipercayakan oleh banyak orang.

Kali ini gue nggak akan menulis tentang gue yang kembali dalam dunia blog, gue ingin membahas tentang seorang lelaki yang sampai saat ini belum bisa untuk menyatakan perasaan kepada seorang perempuan yang di idamkan. Seorang lelaki yang telah jatuh hati terhadap perempuan yang memiliki senyum yang manis. Seorang lelaki itu adalah gue sendiri. 

Pernah nggak sih, kalian takut untuk menyatakan perasaan karena takut semua akan berubah dan menjadi aneh saat semua tidak berjalan seperti rencana?

Gue adalah salah satunya, seorang manusia yang ingin berada di zona nyaman, seorang manusia yang egois dan tidak ingin membagi kebahagiannya pada seseorang yang disukainya hanya karena takut semua tidak berjalan sesuai rencana. 

Dan sampai sekarang...

Gue sendiri masih takut untuk menuliskan ciri-cirinya di blog ini. 

Pernah nggak sih, gue nulis segalau ini? Anjir.

Makin kesini, gue merasa semakin dewasa dan sangat susah untuk mengutarakan perasaan, tidak seperti beberapa tahun yang lalu, gue yang secara terang-terangan bisa menuliskannya di blog ini atau bahkan mengakuinya di depan orangnya, seperti film yang kita sebut Dilan. Ya, meskipun setelah membaca kalimat barusan, banyak yang langsung muntah. Terlepas dari itu semua, nyatanya sekarang gue berada dalam kebimbangan seperti pecundang yang memikirkan dirinya untuk maju atau tetap berdiam di tempat yang sangat lama. 

  • Cinta bukanlah seluruh kata-kata yang pernah ada, sebab rasaku padamu tak tentang kata. - Sujiwo Tejo

Mungkin hanya ini yang menjadi pembenaran terhadap apa yang gue lakukan sekarang. Ketakukan yang gue alami sekarang pernah terjadi beberapa kali. Tapi, untuk yang jelasnya pasti nggak akan gue jelaskan disini secara detail, mungkin hanya sepenggal kisahnya atau mungkin pesan yang bisa gue ambil dari peristiwa ini

Orang lain bilang, kalau cinta itu maka katakan.
Bukankah Tuhan menciptakan mulut kita agar bisa saling berkomunikasi?

Iya, tapi haruskah gue sendiri mengikuti aturan seperti mengucap, 'Pacaran, yuk!' agar tetap bersama? Bukankah menjadi seperti saat ini adalah hal yang paling baik untuk gue sendiri... ralat, untuk kita berdua?

Sebab rasa tak selalu tentang kata. Sebab rasa adalah bagaimana kita bertindak saat orang yang kita sayangi mengalami musibah. Sebab rasa adalah bagaimana kamu meminjamkan bahu kamu untuk dia bersandar.


Tapi, sekali lagi tetap saja seperti pecundang. 

Seseorang yang menetap di angkasa, tetapi memaksa turun kebumi dengan sebuah roket yang luar biasa. Salam, Andika Machmud.